[Cerpen] Aku, Kamu, dan Segelas Lemon Tea~

January 25, 2015 Agista Kartika 0 Comments


     Kristal dingin itu berputar-putar di dalam gelas bening berisi cairan berwarna coklat kekuningan, seirama dengan gerak sedotan yang kugunakan untuk mengaduknya. Bunyi yang ditimbulkan menyita perhatianmu sejenak. Aku berharap kau mau memulai sesuatu. Namun tidak, kau alihkan lagi pandanganmu ke luar jendela, ke seberang jalan tempat dimana anak-anak kecil tengah tertawa-tawa bermain ayunan. Lalu diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirmu.

     Aku hampir putus asa. Sudah hampir dua jam kita berdua duduk disini, tapi kau tak bersuara. Hanya duduk diam, dan mendengarkanku bercerita, bertanya tanpa mendapat jawaban, bahkan aku tak mampu membuatmu menatapku dengan mata coklatmu yang indah itu. Yang sekarang hanya menyiratkan kekosongan. Aku tahu, apa yang kulakukan padamu dua tahun lalu sangatlah salah. Tak perlu kau jelaskan, tak perlu kau ingatkan, karena selama dua tahun ini aku hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Tanpa pernah tahu bagaimana cara menebusnya.

    Gelasku kosong. Kupanggil waitress, memesan segelas lagi minuman favoritmu. Aku bertanya padamu, apa kau mau? Tapi kau lagi-lagi tak menjawab, menggelengpun tidak. Kau masih marah, sama seperti yang kaulakukan sebulan setelah kejadian celaka itu. Kuhela nafas, lalu menyebutkan pesananku ke gadis yang megenakan seragam putih khas kafe ini. Dia mencatat dengan tergesa-gesa, lalu pergi begitu saja. Hei, apa yang salah dengan gadis itu? Sepertinya pelayan disini perlu mendapat pelajaran tentang etika. Bagaimana bisa dia memperlakukan pelanggan tetap kafe ini dengan begitu kasarnya.

    Kau masih memandang kearah luar, tak terusik dengan dengusan kesal yang sedari tadi kuucapkan panjang pendek. Anak-anak yang bermain ayunan tadi sepertinya sudah pergi. Hanya lalu lalang motor dan mobil yang menghiasi jalanan depan. Lampu-lampu penerang jalan mulai dinyalakan. Tanda bahwa matahari mulai beranjak menuju ke peraduannya. Dan kau masih membisu. Sama seperti yang kau lakukan setiap kali bertemu denganku dua tahun terakhir ini.
    "Esther, kumohon bicaralah padaku," kucoba meraih genggamanmu, tapi kau menepisnya.
   "Aku tahu, aku salah karena telah menghianatimu dua tahun lalu. Tapi aku sadar, aku telah berubah sekarang. Dan kau tahu itu", kuusap kedua mataku yang mulai berair. Aku tipe lelaki yang pantang menangis, seorang lelaki tak mungkin terisak di hadapan perempuan yang dicintainya. Tapi terkadang hal-hal seperti air mata bukanlah sesuatu yang bisa kau kendalikan kecuali kau seorang aktor.

    Perkataanku kali ini masih berbuah sama, kau sama sekali tak tersentuh, ekspresimu seakan menunjukkan bahwa kau sudah bosan dengan apa yang kukatakan. Kali ini kau lebih memilih untuk memainkan gantungan kunci mickey mouse yang kau kaitkan di tas mu.
   Aku menghela nafas. "Sejujurnya, aku sangat bersyukur kau masih mau bertemu denganku setelah kejadian itu. Aku sangat bersyukur dan menghargai kebesaran hatimu. Tapi kebisuanmu selama ini sangat menyiksaku, membiarkanku melihatmu setiap hari tanpa mau berbicara sepatah katapun padaku. Kau tahu, itu sangat kejam Esther. Jadi kumohon, bicaralah padaku," ucapku  lirih.

    Percakapan kita, bukan, permintaan maafku yang menyedihkan harus terpenggal sejenak, karena waitress tadi kembali membawakan minumanku. Masih dengan tatapan anehnya, dia mengangsurkan gelas keduaku dengan memaksakan sedikit senyuman. Kuucapkan terima kasih, lalu kuminum seteguk minuman asam ini. Iced Lemon Tea. Minuman favoritmu yang nomor satu. Aku sangat ingat itu. Karena kau tak pernah absen memesan minuman ini setiap kali kita pergi makan, kapanpun, dimanapun. Aku selalu terheran-heran, bagaimana bisa kau menikmati minuman aneh ini. Rasa asamnya sebenarnya tak pernah bisa membuat perutku nyaman. Tapi kau bilang justru rasa asam tidak mengenakkan itulah yang membuatnya manusiawi.

    "Kita hidup di dunia, engga mungkin kan selalu menikmati apa yang disebut dengan kebahagiaan? Terkadang kita menemui hal-hal sulit yang mau-tak mau harus kita lalui. Dan setelah melaluinya, kita disadarkan bahwa justru dari hal sulit itulah kita belajar untuk menjadi sosok yang lebih kuat. Setelah menghadapi masa itu, kita akan bermetamorfosis menjadi sosok yang lebih dewasa dan percaya diri menghadapi hal lain yang mungkin lebih sulit. Dari proses itu kita sadar, bahwa hidup tak selalu diwarnai dengan segala sesuatu yang manis dan memanjakan. Dan menurut aku, semua rasa itu terangkum dalam segelas minuman ajaib yang kita sebut lemon tea. Ada rasa manis di dalamnya, terkadang kau menemukan pahit jika si penyeduh terlalu lama mencelupkan tehnya, dan ada rasa asam yang terkadang membuatmu harus mengernyitkan mata. Itu semua rasa dalam kehidupan yang harus kita lalui. Meskipun aku lebih prefer ada tambahan es di dalamnya, karena itu akan menambahkan perasaan "menyegarkan" yang tiada tandingannya."
    Begitu penjelasan panjang lebar yang kau berikan saat aku menanyakan mengapa kau tergila-gila dengan jenis minuman teh ini. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa, menyerah pada filosofi brilianmu. Kau tahu, aku rindu dirimu yang ceria seperti dulu. Kupandangi rambut ikal sebahumu yang kau biarkan tergerai. Betapa aku sangat ingin menyentuhnya.

    Bunyi klakson truk pengangkut semen membuyarkan lamunanku. Kulirik jam di pergelangan tangan. Sepertinya usahaku untuk membujukmu akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
"Ayo kita pulang sayang, aku tak mau ibumu marah karena tak segera mengantarmu pulang", ucapku lembut. Kau beranjak dari kursi lalu mendahuluiku berjalan ke mobil yang kuparkir di samping kafe. Masih dengan ekspresi datarmu. Kuambil tas yang tersampir di kursi lalu berjalan ke arah kasir. Usai membayar, aku masih berdiri mematung di dekat meja kita di depan jendela kaca besar. Memandangi gelas kedua Iced Lemon Tea yang belum habis kuminum. Di belakang, aku mendengar bisik2 pegawai kafe yang tadi mengantar minuman kita. Bergosip dengan rekannya.
     "Mbak Lia, orang itu agaaak...?"
    "Ssstt.. Jangan keras2. Dia itu pelanggan di kafe ini. Sudah dua tahun kebelakang selalu datang ke tempat ini, memesan dua gelas lemon tea tanpa pernah menyentuh gelas yang satunya. Dan selalu berbicara sendiri, terisak, lalu pergi, tepat saat senja datang seperti ini. Kabarnya kekasihnya meninggal bunuh diri dua tahun lalu, entah karena apa."

     Cih, dasar perempuan, hobby sekali membicarakan sesuatu yang bukan urusannya. Tak kudengarkan sisa percakapan mereka. Toh bukan urusanku juga, pikirku lalu melangkah pergi meninggalkan meja itu. Meninggalkan segelas lemon tea tak tersentuh yang telah menjadi saksi pertemuanku denganmu, saksi amarah dan kebisuanmu dua tahun terakhir ini.

0 comments: