[Cerpen] Satu.Dua.Tiga.Empat~

September 20, 2014 Agista Kartika 0 Comments

Source
Satu..Dua..Tiga..Empat~
Tetes air hujan mulai jatuh dari ember besar di langit. Dengan usilnya membangunkan kucing kecil yang tengah terlelap di bangku taman. Si kucing terperanjat, lalu berlarian mencari tempat perlindungan. Perlahan tetes tetes kecil itu berubah menjadi gerimis yang semakin rapat. Memaksa pengunjung taman beranjak dari kegiatan santai yang mereka lakukan, masuk ke minimarket seberang jalan, atau sekedar berjejer di pinggiran toko untuk berteduh. Beberapa dari mereka masuk ke kafe ini, memesan minuman hangat dan sepotong cake manis, untuk menemani mereka menunggu sang langit puas menumpahkan bebannya. Di meja depanku, kini, duduk sepasang suami-istri dengan seorang anak kecil yang manis. Mata besarnya mengarah kepadaku, menatapku dengan polosnya. Kubalas dengan lambaian tangan, lalu dia tersenyum. Sungguh menggemaskan. Lalu kau datang. Tidak. Bukan wujud mu yang berada disini. Kau, seperti biasa, mulai menguasai pikiranku. Membangkitkan memori-memori, yang entah kenapa enggan untuk kulupakan. Yah, harus kuakui, memang itu salah satu alasanku datang ke tempat ini.
Satu..Dua..Tiga..Empat~ 
Hujan mulai bertambah deras. Sepertinya langit marah, karena sekarang, dia meminta petir datang menemaninya. Mengingatkan manusia-manusia angkuh yang ada di dunia, bahwa ada kekuatan lain yang lebih berkuasa. Kau ingat, tepat di saat-saat seperti ini, kita sering menghabiskan waktu di kafe seberang taman kota. Berdua, duduk di meja pojok, yang tanpa diikrarkan telah menjadi spot favorit kita. Bahkan para pekerja kafe pun terlalu hafal kebiasaan itu. Kau duduk di depanku, menyesap secangkir coklat hangat kesukaan kita. Kau diam, aku diam. Tak ada suara apapun selain derak hujan yang menampar jendela kaca besar yang memisahkan kita dengan hujan diluar. Tapi kita selalu bisa menikmati itu. Kau sesekali tersenyum, memandangi butiran air yang jatuh dan memantul di jalanan. Entah apa yang kau pikirkan. Aku tak pernah tahu..

Satu..Dua..Tiga..Empat~
Empat tahun. Seharusnya aku sudah bisa mengusirmu. Yang sejujurnya, sudah berusaha kulakukan. Tapi kau masih disini. Kau memang selalu seperti itu. Terlalu keras kepala untuk mendengar perkataan orang lain. Bahkan di khayalanku pun kau masih seperti itu. Ngeyel. Ucapku kesal tiap kali kau melakukan segala sesuatu dengan caramu sendiri. Dan aku tak pernah suka akan hal itu. Aku tak pernah suka mencoba hal-hal baru, melakukan hal-hal gila yang kau bilang untuk memacu adrenalinmu. Aku terlalu nyaman terhadap rutinitas yang kujalani. Kita memang sangat berbeda. Tapi kau selalu berhasil membujukku. Mengikutimu melakukan hal-hal tak masuk akal, yang mungkin takkan pernah kulakukan dalam hidupku. Lalu kau akan tersenyum puas, ketika akhirnya kau bisa membuatku tersenyum atau bahkan tertawa melakukan sesuatu yang konyol yang seringkali membuat kita jadi tontonan orang banyak. Oh iya, apa aku pernah mengatakan padamu bahwa aku sangat menyukai senyummu?

Gemuruh petir mulai menghilang, hanya sesekali terlihat kilat dan terdengar derumnya di kejauhan. Tapi ketukan itu masih ada. Satu. . Dua. .Tiga. .Empat. . Hujan masih setia membasahi bumi dengan rindu yang telah lama dipendamnya. Membawakan harapan baru bagi kehidupan lain yang bergantung pada mereka. Hujan itu hadiah dari Tuhan untuk makhluknya yang percaya. Itu katamu. Dulu aku akan membantahnya dengan berbagai alasan aneh, alasan apapun yang bisa mematahkan pendapatmu. "Hujan itu menyusahkan! Jalanan becek, bikin orang basah, belum lagi kalau hujan bawa temen-temennya, Jakarta banjiir. Emang banjir juga hadiah dari Tuhan?", itu yang ku katakan suatu kali. Lalu, dengan senyum kecil kau berkata, "Coba kita lihat dari sisi lain. Kamu tahu gak, apa yang sebenarnya jadi penyebab banjir? Iya, memang hujan salah satunya. Tapi kalau kita lihat lagi, tata kota yang berantakan, kesadaran masyarakat yang kurang akan kebersihan, serapan tanah yang hampir gak ada. Hal-hal itu yang sebenarnya jadi penyebab banjir di Jakarta. Justru, dengan adanya hujan, yang menimbulkan banjir ini, Tuhan ingin mengingatkan makhluknya, bahwa ada sesuatu yang salah dengan cara hidup mereka.", aku cuma mengangguk. "Jadi, apa kau masih beranggapan bahwa banjir itu salah Tuhan?" aku terdiam. Takzim. Cara berpikirmu inilah yang selalu membuatku tak henti menatapmu dengan kagum.

Hujan mulai reda, orang-orang mulai meninggalkan tempat berteduh mereka. Menyebar bagai semut yang terburu-buru pergi dari toples gula karena dihalau pemilik toples tersebut. Kafe kembali lengang, beberapa meja telah ditinggalkan pengunjung. Satu. .Dua. .Tiga. .Empat. . Hanya tetes air dari atap yang masih terdengar. Kuedarkan pandanganku kearah langit diluar. Biru, bersih. Namun tak kutemui bayangan ajaib itu. Aku tak pernah bisa menemukan pelangi di kota ini. Walau begitu, kehadiran hujan di hari-hari melelahkan ini cukup mengobati rinduku.. Kau tahu, sekarang aku sepenuhnya percaya kata-katamu. Hujan memang hadiah dari Tuhan untuk makhluknya yang percaya. Karena hujan selalu bisa mengingatkanku akan dirimu. Menyajikan tiap keping kisah kita dalam setiap tetesnya yang jatuh ke bumi. Kuteguk sisa coklat hangat di gelasku. Lalu beranjak meninggalkan ruang beraroma manis ini. Udara diluar yang sejuk menyambutku begitu aku membuka pintu. Aroma khas hujan.

Satu..Dua..Tiga..Empat~
Aku hanya bisa menghitung ketukan itu sampai angka ke-empat. Begitu terus, berulang-ulang. Karena dengan setiap ketukan ini, aku ingin mengingatmu. Cukup dari satu sampai empat, untuk kebersamaan kita yang bahkan tak sampai empat belas bulan. Satu sampai empat, untuk empat kata terakhir yang kau ucapkan padaku, sebelum akhirnya kau meninggalkanku. Meninggalkan semua orang yang menyayangimu. Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. begitu aku berhitung setiap aku memejamkan mata. Berharap ketika mataku terbuka, kau ada, tersenyum di hadapanku. Aahh... Lagi-lagi aku mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi. Berbahagialah disana wahai kau pencinta hujan. Aku akan selalu mengenangmu.

Terimakasih Tuhan, telah menghadirkan hujanmu untuk mengingat hujanku.

0 comments: